Senin, 12 Desember 2022

Drama Langit

Manusia yang merencanakan sedangkan Allah yang menentukan atas izin-Nya. 

Ya, itulah kalimat yang tepat mengawali cerita ini. Cerita dimana merasa banyak sekali permasalahan yang terjadi, dari sebelum dan sampai selesai kegiatan. 

Ujian dan masalah seringkali kusebut sebagai sebuah drama langit drama dari Allah. Sedangkan tipu muslihat manusia ya drama manusia. 

πŸ˜„Apa sih.... Langsung intinya aja dah! 

Aku tipe manusia yang sudah membuat rencana dari jam segini sampai segitu melakukan ini dan itu, sampai di sana lalu ini-itu. Namun, kembali lagi manusia berencana Allah penentunya. 

Ya, semua atas izin dan kehendak-Nya. 

Tidak berjalan sesuai apa yang direncanakan. Uh, mengesalkan! So sad!  Ingin teriak tapi tertahan oleh nikmatnya semilir angin yang menyeringai tubuh, cahaya mentari yang seakan memaksa untuk terus tersenyum di depan dan dihadapan manusia maupun kamera. 

Terlebih ketika menghadapi seorang diri, seperti anak terlantar yang menunggu induk untuk dijemput pulang. Dalam kesendirian, dalam kegelapan menuju esok hari. Perbatasan antara shift bulan bintang dan matahari. 

01.56 Spbu Ciwi, balongbendo 

Melihatnya berjalan dengan dibantu tongkat tracking (seharusnya), dengan perlahan menuju rumah makan. Rasa kesal, menggerutu berubah menjadi rasa iba dan kesedihan. 

Bagaimana tidak? Menjerit dalam diam, protes dan mengeluh pada Tuhan. Seakan sengaja dipermainkan semesta. Ah! 

Tubuh, terutama perut yang sudah dua hari menahan dan terpaksa harus menahan kembali, menimbang langkah yang harus diputuskan. 

02.37 terdengar jelas suara yang bertumpah, membuatku mual dan mengusap beberapa kali sudut netra. 

65.000, bagiku besar di saat kondisi yang terjepit. Kecil bagi yang stabil lancar. Berkecamuk dan gaduh dalam kendaraan sembari tersorot oleh cahaya lampu restoran. 

Aduh! Ini gimana? Tuhan, aku nggak tahan lagi! Tapi juga ngga bisa berdiam diri lama di sini. Help God! 

Dalam tubuh yang bergemetar, dalam pikiran yang sedang menimbang, dalam kebimbangan mencari kecerahan menuju ujung jalan. Aku memutuskan, "Saya ke Masjid saja Pak!" 

"Baik, saya antar sebagai penggantinya. Biar diantar oleh temannya, kembali pulang."

Dengan menahan isak suara aku mencoba menjawab dengan baik-baik saja. 

Berpisah dengan saling mengucap maaf dan terima kasih, hanya itu yang dapat saling terucap dari lisan manusia. 

Sekitar 10 menit perjalanan, sampailah di Masjid terdekat. Turun dan berpamitan sembari melangkah masuk dengan tertatih. 

Baru merasakan dinginnya ubin adzan sudah terdengar jelas. Meletakkan sepatu, ransel, dan jaket untuk menutupi. Melangkah mengambil air wudhu dan masuk mengambil mukena, meninggalkan barang-barang di teras begitu saja, seakan sudah masa bodo dengan semua. 

Di rakaat kedua sudah tak terbendung, menetes begitu saja membasahi kedua pipi yang tadinya mengering karena AC. 

Kewajiban sebagai hamba telah selesai, aku yang sudah begitu lelah seakan bergumam, "Terserah Tuhan saja!" 

Kembali menuju teras, duduk, mengambil jaket, dan terlelap dalam dinginnya udara murni. 

Akhirnya, yang ditunggu-tunggu dengan harapan kepastian sudah datang. 

Tangis haru mengiringi perjalanan. Ya, dengan masih menahan sembari merenung dalam perjalanan. 

Cukup jauh juga rupanya menuju Purabaya, pantas saja bila mahal dan tak ada yang mau bernegoisasi. 

πŸ˜…Entah aku yang keterlaluan karena keegoisan ataukah memang keadaan yang membuatku memaksa egois dan tercapai.

Ambil motor dan ya lagi-lagi meminta bantuan. Mau gimana lagi keadaan.πŸ˜… 

Alhamdulillah wa syukurilah, sampai juga di hunian yang aku bisa leluasa meluruskan tubuh begitu saja. Acuh dengan sinar mentari yang menyongsong bumi ini, yang jelas aku butuh kegelapan untuk merebahkan sekujur tubuh yang sudah terlalu lama menahan. 

Sekitar pukul 09.00 baru sanggup menyapa mentari dengan me-recovery tubuh, mengisi dengan bahan pokok utama. 

Alhamdulillah. 

🌱 Siapapun pasti akan kesal dan mendumel ketika apa yang sudah dijadwalkan secara detail  berubah di luar ekspektasi. Ya, manusia ingin hasil yang perfeksionis, tapi Tuhan mempunyai perfeksionis versi-Nya sendiri. 

Bisa jadi, selama berlibur terlalu hanyut dalam kenikmatan dunia yang fana, sehingga Tuhan merindu untuk diseru dalam setiap hembus napas kita. 

Penderitaan adalah cara Tuhan memanggil dalam kerinduan, sedangkan kenikmatan adalah cara Tuhan untuk menguji level manusia. 

Ya, sungguh tak disangka dan di luar nalar, masyaallah. 

Tahu apa yang kurasa? Sebuah rasa yang sudah lama mengganjal akhirnya terlepas sudah. Rasa damai dengannya dan diri sendiri. 

Dan, yang terakhir, bertemu bagai leader yang mengingatkan untuk melaksanakan kewajiban. Ah, kepribadian yang aku berpikir, pasti banyak yang juga mendambakannya. Lagi-lagi harus sadar diri.πŸ˜„ 

Intinya, terima saja jika di luar rencana dan ekspektasi indah. Terkadang, terlalu optimis jatuhnya shock dan kecewa, sedangkan sedikit ada rasa pesimis bisa jadi hasilnya malah baik. 

Tuhan paham harus memperlakukan kita seperti apa, meskipun kita sering menolak perlakuan-Nya bahkan berburuk sangka.

Bergantung saja kepada Tuhan bukan manusia, kerana kita hidup memang hanya untuk-Nya bukan menyembah manusia. 

Allah dekat sedekat urat nadi leher kita.πŸ˜‡ 🌱 

Selesai. Terima kasih jika sudah membaca dan semoga ada hikmah yang dapat diambil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentar yang baik dan bijak, semoga menginspirasi :)